Senin, 28 April 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Indonesia-Malaysia Usulkan Syair Syekh Hamzah Fansuri ke UNESCO, Budayawan Aceh: Perlu Respons Serius

Indonesia-Malaysia Usulkan Syair Syekh Hamzah Fansuri ke UNESCO, Budayawan Aceh: Perlu Respons Serius

Selasa, 15 April 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Nab Bahany As, budayawan dan seniman Aceh, menyatakan bahwa usulan bersama Indonesia dan Malaysia untuk mengajukan syair-syair Syekh Hamzah Fansuri sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO patut diapresiasi. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Usulan bersama Indonesia dan Malaysia untuk mengajukan syair-syair Syekh Hamzah Fansuri sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO menuai respons dari kalangan budayawan Aceh

Nab Bahany As, budayawan dan seniman Aceh, menyatakan bahwa langkah ini patut diapresiasi, namun perlu disertai respons konkret dari pihak terkait, termasuk Pemerintah Aceh, Majelis Adat Aceh, Wali Nanggroe, unsur kampus di Aceh, untuk memperkuat posisi Indonesia dalam klaim warisan budaya tersebut.

Syekh Hamzah Fansuri, ulama dan sastrawan abad ke - 16 asal Aceh, diakui sebagai pelopor pencipta syair bersajak pertama di Nusantara dan Asia Tenggara. Karyanya tidak hanya menjadi fondasi kesusastraan Melayu, tetapi juga memengaruhi perkembangan sastra Islam di kawasan ini. 

“Dalam banyak referensi akademis, Syekh Hamzah Fansuri disebut sebagai bapak kesusastraan Indonesia. Ini bukan sekadar klaim lokal, melainkan fakta sejarah yang diakui dunia,” tegas Nab Bahany As kepada Dialeksis.com, Selasa (15/4/2025). 

Menurutnya, syair-syair Hamzah Fansuri seperti Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dan Syair Dagang mengandung nilai filosofis, spiritual, dan estetika tinggi yang merefleksikan kearifan lokal Aceh serta jaringan intelektual Islam global pada masanya. 

“Ini warisan multidiimensional: sastra, agama, dan sejarah. Pengusungan ke UNESCO adalah upaya tepat untuk mengukuhkannya sebagai milik peradaban dunia,” tambahnya.

Nab Bahany As menekankan bahwa pengusulan ini tidak boleh berhenti pada level diplomasi budaya antarnegara. Peran lembaga kebudayaan maupun kampus dinilai krusial untuk memfasilitasi kajian mendalam, sosialisasi, dan penyediaan data pendukung. 

“Semua pihak harus mengambil peran aktif, baik dengan menyelenggarakan seminar akademis, menerbitkan kajian komprehensif, atau membangun kolaborasi dengan pihak Malaysia untuk menghindari tumpang-tindih klaim,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan agar isu kontroversi fatwa sesat Syekh Nuruddin Ar-Raniry terhadap ajaran Wujudiah Hamzah Fansuri tidak mengaburkan fokus utama, yaitu nilai sastranya.

“Perselisihan teologis masa lalu perlu dikaji secara terpisah oleh ahli agama. Saat ini, yang utama adalah menyelamatkan karya sastra Hamzah Fansuri dari kepunahan dan mengangkatnya ke pentas global,” jelas Nab, yang mengaku telah beberapa kali menulis tentang dinamika sejarah ini.

Meski menghargai langkah Indonesia dan Malaysia, Nab mengingatkan pentingnya rekonsiliasi historis. “Kita perlu objektif: Hamzah Fansuri adalah ikon Aceh, tetapi pengaruhnya melintas batas geografis modern. Kolaborasi dengan Malaysia bisa menjadi contoh baik diplomasi budaya, asalkan dilandasi transparansi data dan pengakuan atas akar sejarah Aceh,” paparnya.

Usulan syair Syekh Hamzah Fansuri ke UNESCO membuka peluang bagi Indonesia untuk meneguhkan posisinya sebagai episentrum peradaban Melayu - Islam. Namun, menurut Nab Bahany As, kesuksesan ini bergantung pada sinergi antara pemerintah, lembaga kebudayaan, dan akademisi. 

“Ini momentum untuk tidak hanya mengklaim masa lalu, tetapi juga merawatnya bagi masa depan,” pungkasnya. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
diskes