Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Tambang Dikelola Universitas, Integritas Akademik dalam Pertaruhan?

Tambang Dikelola Universitas, Integritas Akademik dalam Pertaruhan?

Minggu, 26 Januari 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Ilustrasi tambang. (SHUTTERSTOCK/PARILOV)


DIALEKSIS.COM | Indept - Perguruan Tinggi akan mengelola tambang. Pro dan kontra terjadi. Mereka yang setuju menyebutkan akan sangat membantu pembiayaan universitas, namun yang kontra menyatakan ini merupakan pertaruhan integritas akademik? Bentuk pembungkaman secara halus.

Di Aceh saja, pro dan kontra terjadi. Di negeri ujung barat Pulau Sumatera ini ada Universitas yang setuju pihaknya mengelola tambang, namun ada juga yang menolaknya. Nyaris seluruh Pertiwi terjadi pro dan kontra soal Kampus mengelola tambang.

Akankah Universitas mengurus tambang seperti Ormas berbasis keagamaan? Layakkah Perguruan Tinggi mengurus bisnis ini? Adilkah? Akankah semuanya dapat bagian, karena perguruan tinggi di Bumi Pertiwi terbilang banyak.

Bagaimana pandangan berbagai pihak tentang perguruan tinggi mengelola tambang, pro dan kontra tidak terelakan. Dialeksis.com merangkum soal hingar bingar tambang yang akan diberikan untuk universitas.

Wacana dan Modal

Organisasi Masyarakat (Ormas) berbasis keagamaan sudah diberikan wewenang untuk mengelola tambang. Dua lembaga keagamaan yang sudah mendapat izin pengelolaan tambang yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendapat izin usaha pertambangan bekas PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur seluas 20 ribu hektare. Lalu Muhammadiyah mendapat izin usaha pertambangan bekas PT Adaro Energy Indonesia di Kalimantan Selatan seluas 7.437 hektare.

Kini giliran perguruan tinggi yang menjadi incaran. Pro dan kontra menambah hingar bingar Pertiwi. Mudahkah mengurus tambang?

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan bahwa perguruan tinggi yang ingin mengelola tambang harus memiliki badan usaha, sebagaimana aturan yang berlaku untuk ormas keagamaan.

“Ya, tentu (punya badan usaha), makanya sekarang sedang kami bahas,” ujar Doli di sela-sela rapat Panja Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), Senin 20 Januari 2025.

Dalam pembahasan revisi ini, mekanisme pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk perguruan tinggi dan ormas keagamaan akan disamakan. Doli juga menyebutkan bahwa pihak mana yang akan diprioritaskan dalam pengelolaan tambang, baik perguruan tinggi maupun ormas keagamaan, masih menjadi diskusi.

Revisi UU Minerba diajukan untuk mengakomodasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Joko Widodo. PP tersebut mengatur alokasi WIUPK kepada ormas keagamaan.

Seperti dilansir Tempo.co, anggota Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi, menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk memberikan dasar hukum yang kuat bagi kebijakan tersebut.

“Ini salah satu solusi agar PP di era Pak Jokowi bisa ada di dalam Undang-Undang. Bahkan pemerintah sekarang ingin mengembangkan tidak hanya ormas keagamaan, tapi juga universitas,” ujar Bambang.

Namun, pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi memunculkan kekhawatiran baru. Anggota Baleg DPR RI, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, menilai hal ini berpotensi menimbulkan masalah karena jumlah universitas yang sangat banyak di Indonesia.

“Ini menimbulkan masalah baru. Bagaimana pemerintah bisa memilih memberikan kewenangan kepada ribuan universitas di Indonesia?” kata Umbu.

Direktur Center for Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai wacana ini berpotensi merugikan perguruan tinggi secara finansial.

“Pengelolaan tambang membutuhkan investasi besar dan tidak menjamin keuntungan. Bahkan, pengusaha tambang berpengalaman pun bisa merugi,” ungkap Bhima. Ia juga khawatir beban kerugian akan berdampak pada kenaikan uang kuliah mahasiswa.

Pada sebuah seminar di Jakarta, Mei 2024, ketua umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Budi Djatmiko telah menyarankan kampus berperan mengelola sumber daya alam, salah satunya pertambangan.

Budi mengatakan beberapa kali menyampaikan saran tersebut kepada Rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) Laode Masihu Kamaluddin. Laode adalah anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Setelah seminar tersebut, Budi juga menyebutkan memberikan langsung saran ini kepada Prabowo, yang kala itu sudah dinyatakan Komisi Pemilihan Umum sebagai presiden terpilih. “Prabowo sampai meminta file materi seminar saya," ujarnya.

Budi mengklaim sebagai orang pertama yang mengusulkan perguruan tinggi diberikan konsesi tambang. Usul itu, kata dia, mulanya disampaikan kepada Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 2016.

Budi menceritakan kepada Jokowi tentang keprihatinannya terhadap sumber daya alam yang dikelola asing. Alih-alih dikelola pihak asing, sumber daya alam lebih baik diserahkan dan dikelola perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi, menurut Budi, memiliki kompetensi dan sumber daya manusia untuk mengelola konsesi tersebut.

Menurut dia, perguruan tinggi tidak akan mengambil keuntungan pribadi dari hasil tambang. Hasil tambang pun bisa digunakan untuk pembiayaan, dari biaya operasional kampus, gaji dosen, hingga uang kuliah mahasiswa.

Beberapa bulan setelah seminar tersebut, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan revisi keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Baleg DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat pleno pada Senin, 20 Januari 2025. Dalam draf terakhir, revisi RUU Minerba disisipkan Pasal 51A. Pasal itu menyebutkan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam atau batu bara dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.

Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengatakan RUU Minerba sejalan dengan keinginan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ada empat poin yang diusulkan dalam Revisi Undang-Undang Minerba.

Keempatnya adalah percepatan penghiliran mineral dan batu bara, aturan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat keagamaan, pemberian IUP kepada perguruan tinggi, serta pemberian IUP untuk usaha mikro, kecil, dan menengah.

Bob menyebutkan pemerintah ingin seluruh elemen masyarakat bisa mendapatkan hak yang sama untuk mengelola sumber daya alam. Tak terkecuali, kata dia, kepada perguruan tinggi.

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR Martin Manurung mengatakan tidak mengetahui Aptisi merupakan pengusul rencana revisi keempat Undang-Undang Minerba. Menurut dia, revisi undang-undang itu disampaikan DPR melalui Baleg.

Menurut Martin, universitas memiliki potensi sumber daya manusia dan keilmuan mengenai pertambangan serta lingkungan hidup. Potensi tersebut makin kuat bila pemahaman teoretis dipadukan dengan praktik. “Keterlibatan kampus diharapkan dapat memicu kompetisi dalam bisnis pertambangan,” ujar Martin saat dihubungi, Kamis, 23 Januari 2025.

Hasil pengolahan tambang, kata Martin, bisa menjadi sumber pembiayaan kampus. Tambang untuk kampus juga bisa menjadi solusi menyelesaikan masalah pembiayaan kampus, termasuk uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa. “Kampus tidak harus menaikkan UKT mahasiswa,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan RUU Minerba bukan digagas pemerintah pusat. Menurut dia, revisi regulasi UU Minerba itu merupakan inisiatif DPR.

Kementerian Hukum saat ini disebut menunggu hasil revisi Undang-Undang Minerba dari DPR. "Pemerintah juga akan menyusun daftar inventarisasi masalah untuk nantinya diserahkan ke DPR," kata Supratman di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2025.

Bagaimana kelanjutanya, kita tunggu saja apa yang akan dilakukan negara ini? Apakah kampus akan mengelola tambang?

Pro dan Kontra

Forum Rektor Indonesia mendukung usulan DPR RI agar perguruan tinggi mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Forum Rektor menilai biaya kuliah atau UKT dapat turun apabila perguruan tinggi ikut mengelola pertambangan.

Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Didin Muhafidin menyampaikan perguruan tinggi yang berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) dan perguruan tinggi swasta (PTS) ternama, sudah memiliki unit usaha. Sehingga, kata dia, tambang yang dikelola dapat memberikan tambahan keuangan bagi perguruan tinggi.

"Dengan adanya tambahan pemasukan diharapkan PTN-BH tadi tidak menaikkan SPP lagi, syukur-syukur bisa menurunkan UKT karena adanya tambahan penghasilan dari pengelolaan tambang," jelas Didin seperti dilansir Liputan6.com, Kamis (23/1/2024).

Pro dan kontra soal Universitas mengelola tambang mencuat kepermukaan. Di ujung Barat Sumatera misalnya, Universitas yang ada di sana juga menanggapinya pro dan kontra.

Rektor Universitas Teuku Umar (UTU) di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, Prof. Ishak Hasan, misalnya, dia mengungkapkan bahwa kampusnya siap mengelola tambang apabila usulan ini nantinya disepakati dan disahkan oleh DPR.

Menurut Prof Ishak, tambang seyogianya menjadi sumber pendapatan negara jika dikelola dengan baik. Selama ini, kebanyakan perusahaan tambang itu dikelola oleh perusahaan swasta.

"Jangan sampai kita sebagai penonton, sumber daya kita ditarik keluar, tapi kita tidak mendapatkan manfaat yang besar atau maksimal," kata Prof Ishak, seperti dilansir AJNN.

Demikian dengan Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Marwan, mengatakan USK siap bila ditugaskan untuk mengelola izin usaha pertambangan (IUP).

Apalagi, kata dia, dari segi peraturan dan perundang-undangan mengizinkan perguruan tinggi untuk turut berperan serta dalam kegiatan pengelolaan IUP.

“Sejak 2012 USK telah memiliki program studi Teknik Pertambangan dan dosen atau ahli yang memiliki pengetahuan tentang pengelolaan tambang, serta menerapkan prinsip pertambangan yang baik dan benar atau good mining practices,” kata Marwan, Rabu, 22 Januari 2024.

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko mengusulkan agar perguruan tinggi mengelola tambang sebagai solusi pembiayaan kampus. “Hasil tambang bisa digunakan untuk operasional kampus, gaji dosen, dan uang kuliah mahasiswa,” ujarnya.

Namun banyak akademisi di Pertiwi yang menolak kampus untuk dilibatkan dalam urusan tambang. Di Aceh misalnya, penolak itu disampaikan Rektor Universitas Malikussaleh, Herman Fithra.

Dalam keteranganya kepada media dengan tegas Herman Fithra mengingatkan anggota parlemen agar tidak menyeret perguruan tinggi dalam kepentingan pragmatis industri pertambangan.

“Harus dipikirkan kembali secara matang tentang usulan ini, jangan perguruan tinggi diseret kedalam pusaran bisnis pertambangan,” kata Herman kepada AJNN, Rabu, 22 Januari 2025.

Herman menilai, memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi merupakan pemikiran yang memerlukan kajian komprehensif. Pasalnya, perguruan tinggi pada dasarnya tidak didirikan sebagai pusat industri.

Meskipun ada kaitannya dengan Tridarma Perguruan Tinggi, ia menilai langkah ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah.

"Memberikan ruang konsesi tambang kepada perguruan tinggi berisiko membuka konflik, baik konflik lahan maupun dampak negatif industri tambang terhadap masyarakat sekitar. Ini bisa mencoreng citra perguruan tinggi," sebutnya.

Menurut Herman, perguruan tinggi seharusnya hadir untuk memberikan keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan ekonomi dengan perlindungan ekologis dan sosial.

Sebagai solusi, ia mengusulkan agar konsesi tambang kepada industri diwajibkan melibatkan perguruan tinggi dalam bentuk kolaborasi riset, monitoring, evaluasi, serta melibatkan mahasiswa yang telah menyelesaikan 100 SKS di program studi terkait tambang.

Nada tegas juga disampaikan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, dia menegaskan bahwa pengelolaan tambang bukan wilayah perguruan tinggi.

“Perguruan tinggi harus fokus pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” kata dia kepada Tempo.co.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, secara tegas menolak kebijakan ini. Ia menilai bahwa perguruan tinggi dan ormas keagamaan bukan entitas bisnis yang cocok untuk mengelola tambang.

“Kebijakan ini mencederai muruah akademik dan berpotensi memperkuat kepentingan oligarki,” kata Herlambang.

Bukan hanya itu, secara halus Kepala Kepala Kantor Komunikasi Publik Universitas Padjadjaran Dandi Supriadi, memberikan peringatan. Kampus harus melihat betul manfaat pemberian izin pengelolaan tambang itu bagi dunia pendidikan.

“Unpad harus berhati-hati dalam hal ini mengingat ramainya polemik yang ada. Universitas Padjadjaran harus benar-benar netral dan tidak sekadar mencari keuntungan tanpa melihat dampak dan manfaat bagi masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, secara tegas menolak kebijakan ini. Ia menilai bahwa perguruan tinggi dan ormas keagamaan bukan entitas bisnis yang cocok untuk mengelola tambang.

“Kebijakan ini mencederai marwah akademik dan berpotensi memperkuat kepentingan oligarki,” kata Herlambang.

Masih banyak pihak kampus di Bumi Pertiwi yang bersuara soal pro dan kontra masalah tambang. Para akademisi bangaikan mendapat sengatan “listrik” dalam menyikapi soal tambang.

Selanjutnya »     Pembungkaman Suara Kritis Akademisi Upa...
Halaman: 1 2
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI